Penataan Kawasan Ciater Subang Diharapkan Profesional, Pemilik Usaha Tuntut Keadilan Terkait Kontrak Lahan

Subang, 2 Juli 2025 – Rencana penataan dan pembongkaran sejumlah bangunan di kawasan Ciater, Kabupaten Subang, yang melibatkan PTPN dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat menuai sorotan. Di tengah apresiasi terhadap tujuan penataan agar lebih rapi, muncul tuntutan agar proses tersebut dijalankan secara profesional dan menghormati perjanjian kontrak yang masih berjalan.
Baca Juga:Sekda Kota Bandung Ema Sumarna Jadi Tersangka KPK Kasus Smart City
Salah satu pihak yang terdampak adalah Haji Eko, seorang pengusaha suku cadang (sparepart) kendaraan yang bangunannya terancam dibongkar. Haji Eko menegaskan bahwa dirinya tidak menolak program penataan tersebut, namun ia meminta agar semua pihak menghormati hak-haknya sebagai penyewa yang sah.
Menurut keterangannya, lahan tempat usahanya berdiri merupakan hasil kerjasama antara PTPN dengan pihak ketiga, yakni PT Paradotama. Selanjutnya, PT Paradotama menjalin kemitraan dengan Haji Eko, yang mana kontrak sewa bangunannya baru akan berakhir pada bulan September 2025.
“Program pembongkaran ini bagus agar Ciater tertata rapi. Namun, PTPN harus sadar, ada tanah yang dikerjasamakan dengan pihak vendor, yaitu PT Paradotama, dan kami adalah mitra dari vendor tersebut,” ujar Haji Eko.
Baca Juga:Kejati Jabar Tetapkan Kepala BKPSDM Majalengka Tersangka Korupsi Pasar
Ia mengaku telah diminta oleh pihak PTPN, Pemprov Jabar, dan PT Paradotama untuk segera membongkar bangunan tempat usahanya, meskipun kontraknya masih berlaku.
“Seharusnya PTPN, Paradotama, ataupun Pemprov Jabar menunggu kontrak saya habis hingga September 2025. Kalau mereka tetap memaksa melakukan pembongkaran sekarang, artinya mereka telah melanggar peraturan dan isi perjanjian,” tegasnya.
Haji Eko menyatakan dua syarat agar dirinya bersedia membongkar bangunannya. “Saya siap membongkar bangunan saya sendiri jika, pertama, kontrak saya sudah habis. Kedua, jika memang mendesak, harus ada ganti rugi yang sepadan dengan kerugian yang saya alami,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pembongkaran paksa sebelum kontrak berakhir dan tanpa adanya ganti rugi yang adil merupakan tindakan yang merugikan sepihak. Pihaknya tidak akan segan untuk menempuh jalur hukum demi mencari keadilan.
“Kalau dilakukan pembongkaran sementara kontrak belum habis atau tidak ada ganti rugi yang sepadan, artinya ini merugikan satu pihak. Kami akan melakukan gugatan kepada pihak-pihak terkait demi menciptakan keadilan,” pungkas Haji Eko.
Kasus ini menyoroti pentingnya profesionalisme dan penghormatan terhadap hukum perjanjian dalam setiap program pembangunan atau penataan yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun BUMN, agar tidak menimbulkan kerugian dan sengketa di kemudian hari.
Dul